Cinta menurut Ibnu al-Qayyim al-Jawziyyah
Ibnu
Qayyim rahimahullâh pernah berkata dalam kitab al-Jawâb al-Kâfî li Man Sa’ala
‘an ad-Dawâ’ asy-Syâfî (1) :
“Kasih sayang adalah penyebab hati dan ruh
menjadi hidup terpelihara. Hati tidak akan merasa tenteram, nikmat, beruntung,
dan merasa hidup bila tanpa cinta. Seandainya hati tanpa cinta, sakitnya lebih
terasa daripada mata terasa sakit ketika tidak bisa lagi melihat cahaya,
telinga ketika tidak bisa lagi mendengar, hidung ketika tidak bisa lagi
mencium, lisan ketika tidak mampu lagi berbicara. Bahkan, hati pun bisa menjadi
rusak apabila hampa dari kasih sayang yang sudah merupakan fitrah dalam jiwa
manusia. Ia adalah sebuah karunia yang diberikan Sang Pencipta. Oleh karena
itu, rusaknya lebih parah daripada kerusakan tubuh manusia yang diisi dengan
ruh, dan ini tidak mungkin bisa dikatagorikan menjadi sesuatu yang pasti
kecuali orang yang memiliki jiwa yang selalu hidup.”
Ibnu Qayyim rahimahullâh berkata dalam kitab ad-Dâ’ wa ad-Dawâ’ (2):
“Mencintai wanita itu terbagi tiga, yaitu:
Bagian pertama dan kedua adalah “pendekatan” dan “ketaatan”. Yang termasuk
kategori ini dapat dimisalkan seperti mencintai seorang istri. Bentuk cinta
semacam ini sangat bermanfaat karena bagaimanapun ia merupakan salah satu
syariat yang diperintahkan oleh Allah ta’ala dalam melaksanakan pernikahan.
Karena, pernikahan dapat menghindarkan pandangan mata dan hati dari perbuatan
semu yang dilarang Islam. Maka dari itulah Allah ta’ala, Rasul-Nya Muhammad
saw., dan seluruh manusia menjunjung tinggi martabat pecinta semacam ini.
Sedangkan bagian ketiga adalah “cinta mubah” (cinta yang dibolehkan), seperti
cinta seorang laki-laki ketika disebutkan kepadanya sosok seorang wanita
jelita, atau ketika seorang laki-laki melihat wanita secara kebetulan lalu
hatinya terpaut kepada wanita tersebut, dengan catatan tidak ada unsur maksiat
dalam jatuh cinta itu. Cinta semacam ini pelakunya tidak dibebani dosa dan
siksa, namun lebih baik menghindar dan menyibukkan diri dengan suatu pekerjaan
yang lebih bermanfaat lagi positif serta wajib baginya merahasiakan hal itu.
Apabila menjaga dan sabar terhadap suatu hal yang berbau negatif, niscaya Allah
ta’ala akan memberikan ganjaran pahala kepadanya dan menggantinya dengan
sesuatu yang lebih baik.”
Ibnu Qayyim rahimahullâh tentang cinta yang terpuji:
“Cinta yang terpuji adalah cinta yang memberikan manfaat kepada orang yang
merasakan cinta itu untuk kebahagiaan dunia dan akhiratnya. Cinta inilah yang
menjadi asas kebahagiaan. Sedangkan cinta bencana adalah cinta yang
membahayakan pelakunya di dunia maupun akhirat dan membawanya ke pintu
kenistaan serta menjadikannya asas penderitaan dalam jiwanya.”
Ibnu Qayyim rahimahullâh dalam kitab ad-Dâ’ wa ad-Dawâ’ :
“Cinta membangkitkan jiwa dan menata prilaku. Mengungkapkannya adalah suatu
kewajaran dan memendamnya menjadi beban.” Lalu, beliau berkata: “Mereka
berucap: ‘Kita tidak memungkiri kerusakan cinta jika terbumbui oleh perbuatan
tercela kepada sesama makhluk. Yang kita dambakan adalah cinta suci dari
seorang laki-laki idaman yang selalu komitmen kepada agama, kehormatan, dan
akhlak. Jangan sempat cinta itu menjadi jurang pemisah antara menusia dengan
Khaliq-nya dan menyebabkan antara pecinta dengan yang dicintainya jatuh ke
dalam perbuatan nista”
No comments:
Post a Comment